08 June 2010

PESANTREN AL-HAMIDIYAH

PESANTREN AL-HAMIDIYAH

PROFILE PESANTREN

Pesantren adalah salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pesantren merupakan cikal bakal dari sistem pendidikan Islam yang ada di tanah air ini.

Keberhasilan pesantren dalam melaksanakan tugas pendidikan tidak diragukan lagi. Telah banyak bukti nyata akan partisipasi pesantren dalam memajukan bangsa. Dengan alumni pesantren yang banyak tampil di tengah-tengah masyarakat sebagai pembawa obor dan penggerak laju pembangunan, masyarakat semakin yakin akan pentingnya pesantren.


SEKILAS RIWAYAT HIDUP KH. ACHMAD SJAICHU
(PENDIRI PESANTREN AL-HAMIDIYAH)


Mendirikan pesantren untuk mengembangkan dakwah Islamiyah merupakan salah satu cita-cita luhur KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Sebagai orang yang sejak kecil hidup dan dididik di lingkungan pesantren, wajar saja jika KH. Achmad Sjaichu bercita-cita untuk mendirikan sekaligus mengasuh pesantren. Siapakah KH. Achmad Sjaichu, pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah ini ?

KH. Achmad Sjaichu dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada hari Selasa Wage, 29 Juni 1921. Beliau putra bungsu dari dua bersaudara putra pasangan H. Abdul Chamid dan Ny. Hj. Fatimah. Pada usia 2 tahun Sjaichu sudah yatim, ditinggal wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Achmad Sjaichu bersama kakaknya , Achmad Rifa'i, diasuh oleh ibunya dengan tekun dan tabah. Untuk memperoleh pendidikan agama, Sjaichu belajar kepada K. Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun Sjaichu sudah menghatamkan Al-Qur'an 30 Juz.

Selain belajar agama, Sjaichu juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mardi Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Tak lama belajar di sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, Sjaichu dipindah ke Madrasah Taswirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan Achyat. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama.

Untuk membantu meringankan beban ibunya yang harus menghidupi putra-putranya, setelah H. Abdul Manan wafat, pada usia kanak-kanak Sjaichu sudah sudah mulai bekerja di perusahaan sepatu milik Pak Denya, Mohammad Zein bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.

Sjaichu kembali kebangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja dan memiliki bekal yang relatif cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan, sebuah lembaga pendidikan yang juga didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Sambil belajar, Sjaichu kembali bekerja pada seorang tukang jahit kenamaan di Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul Wathan ia dibimbing seorang guru yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangan Sjaichu, yaitu KH. Abdullah Ubaid. Selain itu ia juga berguru kepada KH. Ghufron untuk belajar ilmu Fiqh.

Tahun 1937, setamat Sjaichu dari Nahdlatul Wathan, Ny. Fatimah yang sudah dua kali menjanda diperistri seorang ulama besar yang juga pendiri Nahdlatul Wathan, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah. Di bawah bimbingan ayah tirinya itulah Sjaichu berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya mulai tumbuh.

Sekolah sambil bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda Sjaichu. Setamat dari Nadlatul Wathan, Sjaichu kembali bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut. Selama bekerja dibengkel itu, ia melakukan kegiatan dakwah di lingkungan kawan-kawan sekerja.

Setahun kemudian, 1938, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan Sjaichu ke Pesantren Al-Hidayah, Lasem asuhan KH. Ma'shum. Selama di pesantren ini, pemuda Sjaichu menjadi santri kesayangan Mbah Ma'shum. Sesudah 3 tahun belajar di Lasem, Sjaichu terpaksa harus boyong ke Surabaya, karena ia terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.

Pada tanggal 5 Januari 1945, pada usia 24 tahun, Sjaichu mempersunting Solchah, putri Mohamad Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling yang pernah menjadi majikannya. Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry sepatu di rumahnya, dengan 15 orang karyawan. Sjaichu sendiri yang memasarkan ke seantero Surabaya. Sambil berdagang, ia juga aktif mengajar bahasa Arab dan Inggris kepada beberapa pemuda yang sering datang ke rumahnya. Dari Ny. Solchah, KH. Achmad Sjaichu dikaruniai 10 putra-putri, 2 diantaranya meninggal ketika masih bayi. Kedelapan putra-putri yang ada, yaitu Ny. Mariyam Chairiyah, Imam Susanto, Mohamad Sucahyo, Zainul Mujahidin, Rachmawati, Zubaidah, Faridah, dan Achmad Fauzi.

Ketika terjadi penyerbuan tentara sekutu ke kota Surabaya, ia bersama istrinya mengungsi ke Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman, ia pulang ke kota kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di Madrasah NU. Di samping mengajar, ia juga menjadi ketua ranting NU Karang Menjangan. Itulah awal mula Sjaichu mulai terlibat di organisasi NU. Pada kepengurusan NU cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah), bersama KH. Thohir Bakri, KH. Thohir Syamsuddin dan KH. A. Fattah Yasin. Karier sjaichu di organisasi terus menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya.

Awal tahun 1950-an ia mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah dan bekerja di Kantor Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala. Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya.

Pada tahun 1953, Sjaichu terpilih menjadi ketua LAPANU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958 ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi NU. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak ia menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya KH. Achmad Sjaichu mencapai puncak karier di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU sendiri KH. Achmad Sjaichu pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai tahun 1979 (ketika berlangsung Muktamar NU di Semarang).

Kepemimpinan dan ketokohan KH. Achmad Sjaichu tidak hanya diakui secara nasional, melainkan juga sampai ke level internasional. Pengakuan itu terbukti dengan dipilihnya KH. Achmad Sjaichu sebagai presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam konferensinya yang pertama di Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965. KH. Achmad Sjaichu yang di kenal sebagai pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil mengembangkan misi dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam pentas politik internasional.

Sekian lama KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia politik, tak menyurutkan perhatian dan minatnya dalam dunia dakwah Islamiyah. Malahan semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah yang dijadikan motivasi dalam keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, KH. Achmad Sjaichu mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul Muballighin. Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan KH. Achmad Sjaichu menuju terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren. Dan Pesantren Al-Hamidiyah yang kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi bisu yang menunjukkan betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH. Achmad Sjaichu. Dari pesantren juga berakhir di pesantren .

LATAR BELAKANG BERDIRINYA PESANTREN AL-HAMIDIYAH

Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 oleh KH Achmad Sjaichu untuk mewujudkan cita-cita luhurnya mengembangkan dunia pendidikan dan dakwah Islamiah melalui pesantren. Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman yang menyertai perjalanan hidupnya, KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia pesantren dengan konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu.

Pesantren Al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah.

KH. Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren Al-Hidayah, Lasem. Dalam kurun waktu selama 40 tahun (1950-1980) KH Achmad Sjaichu terjun dalam dunia politik dan bergiat dalam Jam'iyah Nahdatul Ulama. Dalam bidang tersebut, KH Achmad Sjaichu berhasil membukukan berbagai prestasi. Di bidang politik, KH Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup terhormat, yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI.

Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang menyertai perkembangan kehidupannya itulah, KH Achmad Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang pernah ditinggalkannya dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman menyeluruh tentang makna kehadiran para juru dakwah dan ulama ditengah-tengah masyarakat yang bergerak maju dan cepat.

KH Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena banyaknya ulama yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pesantren yang masih harus lebih disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan ulama perlu dipersiapkan sejak dinidengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang cukup untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks. KH Achmad Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan kekhawatiran yang pernah dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang silam tentang kondisi umatnya yang kehilangan pemimpin dari kalangan ulama. Rasulullah bersabda ;

"Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu dengan mencabutnya secara serentak, akan tetapi Dia menghilangkan ilmu dengan cara mewafatkan ulama. Sehingga ketika sudah tak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin. Ketika ditanya, mereka memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tidak hanya sesat tetapi juga menyesatkan". (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas)

Namun KH Achmad Sjaichu tidak tenggelam dan hanyut dalam keprihatinan semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya mendirikan pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut. Sebab Nasyrul Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata menjadi keinginan manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda;

"Barang siapa dikehendaki Allah menjadi orang baik, niscaya Ia (Allah) memberi kedalaman ilmu di bidang agama (Islam). Sesungguhnya saya sekedar membagi ilmu dan Allah yang memberinya. Tidak henti-hentinya umatku menegakkan kebenaran sesuai perintah Allah. Orang-orang yang menentangnya tidak akan mendatangkan madlarat bagi mereka hingga datang ketetapan Allah (kiamat)". (H.R.empat imam dari Mu'awiyah)

Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu. Sebelum wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan.

Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok di jual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di atas tanah inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya, didirikan. Karena beberapa kesibukan dan persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren Al-Hamidiyah kemudian dimasukan dalam daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah.

Secara fisik, bangunan pesantren Al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH Achmad Sjaichu. Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai program pendidikan di bawah koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam Al-Hamidiyah pada saat itu, yang juga menantu KH Achmad Sjaichu.

Sementara pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga dilakukan. Rapat-rapat Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya segera dibentuk suatu badan pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang siap untuk menjalankannya. Seperangkat kepengurusan dipersiapkan, dan tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren Al-Hamidiyah dibuka. Pada saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi.

Menteri Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan kegiatan perdana pesantren Al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian pembukaan pesantren, menteri antara lain menyatakan rasa syukur dan penghargaan yang tinggi atas dibangunnya pesantren Al-Hamidiyah depok oleh KH Achmad Sjaichu. Pendirian pondok pesantren sejalan dengan usaha Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek percontohan pendidikan madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi agama dan 25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).

Pada acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang menekankan pengajaran bidang studi agama adalah jawaban atas kelangkaan ulama yang sedang dirasakan umat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar membangun bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia, mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman.

Saat banyak pesantren berlomba mencetak santri yang pandai wiraswasta atau menguasai teknologi, ada satu dua yang tetap dengan misi utamanya, mencetak ulama. Al-Hamidiyah merupakan salah satunya.
Kehadiran Al-Hamidiyah sebagai pesantren salafiyah di tanah air terbilang baru. Pesantren ini didirikan KH Achmad Sjaichu --salah seorang ketua PBNU tahun 1979-- pada 17 Juli 1988. Dibandingkan pesantren salaf lain seperti pesantren Tebu Ireng Jombang atau Lirboyo Kediri, Jatim, pesantren ini lahir belakangan.
Kendati begitu, pesantren yang didirikan di Jl. Raya Depok Sawangan, Kepupu, Rangkapanjaya, Pancoran Mas, Depok, Bogor itu mengalami perkembangan yang pesat. Beragam tingkat pendidikan digelar mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga Tarbiyah Mu'allimin-Mu'allimat (TMM), setara madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Jumlah santrinya mencapai ribuan orang. Semula hanya warga Jabotabek yang mendaftar. Namun belakangan santri dari luar daerah pun bermunculan.
Pendirian Al-Hamidiyah bertujuan mengembangkan dakwah Islam. Hal ini lantaran KH Achmad Sjaichu, merasa sangat prihatin atas kenyataan makin langkanya ulama dan juru dakwah. Ia merasa perlu mendirikan pesantren yang lebih memiliki kualitas dan kuantitas; mencetak santri jadi ulama.
Langkah yang ditempuh dengan melakukan penyempurnaan sistem pendidikan di pesantren. Guna mencapai harapan yang diinginkan almarhum Kiai Sjaichu, Al-Hamidiyah tidak saja berkutat pada ilmu keagamaan semata, tapi juga mengembangkan pendidikan lain seperti TK, TPQ, MTs, MA, pengajian pesantren, majelis taklim, bahasa Arab, komputer, perpustakaan, klinik, dan koperasi. Mereka memiliki lembaga bahasa Arab dan Inggris.
Untuk penunjang pendidikan formal, ada program ekstrakurikuler seperti marching band, pramuka, hajir marawis, qasidah, lembaga Alquran dan dakwah, tata boga, dan olahraga. Dengan muatan seperti itu, Al Hamidiyah memadukan pesantren salaf dan pendidikan modern yang lazim dikenal dengan sistem salafiyah ashriyah.
Sebagai pesantren salaf, kitab klasik atau kitab kuning adalah menu utama. Tak berbeda di tempat ini. Santri harus mengaji beberapa kitab klasik antara lain Ta'limul al-Muta'alim, Arbain an-Nawawi, al-Jawahirul Kalamiyah, Washoya li al Abna, Matan al-Ghooyah wa al Taqrib, al Amtsilah al Tashrifiyah, Nadzam Imriti, al Mutamminah, Tafsir Jalalain, dan Husunul Hamidiyah. Tenaga pengajar terdiri dari para kiai, ustadz, dan sarjana lulusan perguruan tinggi negeri atau swasta dalam dan luar negeri. Ada juga alumni yang ikut nimbrung mengajar.
Visi pesantren Al-Hamidiyah mencetak ulama tak mudah diwujudkan. Itu karena ulama memiliki pengertian sebagai pewaris nabi.
Karenanya, dalam keseharian santri Al-hamidiyah dilatih mempraktikkan cara hidup berdasar ajaran Nabi SAW. Ini ajang praktik sebelum terjun ke tengah masyarakat. Yang terakhir ini butuh pengajar terlatih. Itu sebabnya Al-Hamidiyah juga mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) terhadap pengajar. ''Sebelum mengulamakan santri, guru harus mengulamakan diri sendiri.''
Untuk tujuan tersebut, pesantren menerapkan praktik muhadlarah (ceramah) ke tengah masyarakat. Program yang disebut kegiatan pengabdian masyarakat (KPM) ini dilakukan sepekan sekali. Semula hanya di sekitar Jabotabek, tapi belakangan merambah Jatim dan Bali.
Program KPM ini merupakan andalan yang ditawarkan pesantren Al-Hamidiyah. Kegiatan ini mendapat sambutan positif di masyarakat. Terbukti, banyak yang mendaftarkan anaknya mondok setelah melihat KPM yang dilakukan santri.

Kangen AHA .. Go 15 DC
Sumber : www.alhamidiyah.com

No comments: